A.
Sejarah Toksikologi
Sejak
perkembangan peradaban manusia dalam mencari makanan, tentu telah mencoba
beragam bahan baik botani, nabati, maupun dari mineral. Melalui pengalamannya
ini ia mengenal makanan, yang aman dan berbaya. Dalam kontek ini kata makanan dikonotasikan
ke dalam bahan yang aman bagi tubuhnya jika disantap, bermanfaat serta
diperlukan oleh tubuh agar dapat hidup atau menjalankan fungsinya.
Sedangkan
kata racun merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan dan mengambarkan
berbagai bahan ”zat kimia” yang dengan jelas berbahaya bagi badan. Kata racun
”toxic” adalah bersaral dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata tox, dimana
dalam bahasa Yunani berarti “panah”. Dimana panah pada saat itu digunakan
sebagai senjata dalam peperangan, yang selalu pada anak panahnya terdapat
racun. Di dalam ”Papyrus Ebers (1552 B.C.)“
orang Mesir kuno memuat informasi lengkap tentang pengobatan dan obat.
Di Papyrus ini juga memuat ramuan untuk racun, seperti antimon (Sb), tembaga,
timbal, hiosiamus, opium, terpentine, dan verdigris (kerak hijau pada permukaan
tembaga). Sedangkan di India (500 - 600 B.C.) di dalam Charaka Samhita
disebutkan, bahwa tembaga, besi, emas, timbal, perak, seng, bersifat sebagai
racun, dan di dalam Susrata Samhita banyak menulis racun dari makanan,
tananaman, hewan, dan penangkal racun gigitan ular.
Hippocrates(460-370
B.C.), dikenal sebagai bapak kedokteran, disamping itu dia juga dikenal sebagai
toksikolog dijamannya. Dia banyak menulis racun bisa ular dan di dalam bukunya
juga menggambarkan, bahwa orang Mesir kuno telah memiliki pengetahuan penangkal
racun, yaitu
dengan menghambat laju penyerapan racun dari saluran pencernaan. Disamping
banyak lagi nama besar toksikolog pada jaman ini, terdapat satu nama yang perlu
mendapat catatan disini, yaitu besar pada jaman Mesir dan Romawi kuno adalah
Pendacious Dioscorides (A.D. 50), dikenal sebagai bapak Materia Medika, adalah
seorang dokter tentara. Di dalam bukunya dia mengelompokkan racun dari tanaman,
hewan, dan mineral.
Hal
ini membuktikan, bahwa efek berbahaya (toksik) yang ditimbulkan oleh zat racun
(tokson) telah dikenal oleh manusia sejak awal perkembangan beradaban manusia.
Oleh manusia efek toksik ini banyak dimanfaatkan untuk tujuan seperti membunuh
atau bunuh diri. Untuk mencegah keracunan, orang senantiasa berusaha menemukan
dan mengembangkan upaya pencegahan atau menawarkan racun. Usaha ini seiring
dengan perkembangan toksikologi itu sendiri. Namun, evaluasi yang lebih kritis
terhadap usaha ini baru dimulai oleh Maimonides(1135 - 1204) dalam bukunya yang
terkenal Racun dan Andotumnya.
Sumbangan
yang lebih penting bagi kemajuan toksikologi terjadi dalam abad ke-16 dan
sesudahnya. Paracelcius adalah nama samaran dari Philippus Aureolus Theophratus
Bombast von Hohenheim (1493-1541), toksikolog besar, yang pertama kali
meletakkan konsep dasar dasar dari toksikologi. Dalam postulatnya menyatakan:
“Semua zat adalah racun dan tidak ada zat yang tidak beracun, hanya dosis yang
membuatnya menjadi tidak beracun”. Pernyataan ini menjadi dasar bagi konsep
hubungan dosis reseptor dan indeks terapi yang berkembang dikemudian hari.
Matthieu
Joseph Bonaventura Orfila dikenal sebagai bapak toksikologi modern. Ia adalah
orang Spayol yang terlahir di pulau Minorca, yang hidup antara tahun 1787
sampai tahun 1853. Pada awak karirnya ia mempelajari kimia dan matematika, dan
selanjutnya mempelajari ilmu kedokteran di Paris. Dalam tulisannya (1814-1815)
mengembangkan hubungan sistematik antara suatu informasi kimia dan biologi
tentang racun. Dia adalah orang pertama, yang menjelaskan nilai pentingnya
analisis kimia guna membuktikan bahwa simtomatologi yang ada berkaitan dengan
adanya zat kimia tertentu di dalam badan. Orfila juga merancang berbagai metode
untuk mendeteksi racun dan menunjukkan pentingnya analisis kimia sebagai bukti
hukum pada kasus kematian akibat keracunan. Orfila bekerja sebagai ahli
medikolegal di Sorbonne di Paris. Orfila memainkan peranan penting pada kasus
La Farge (kasus pembunuhan dengan arsen) di Paris, dengan metode analisis
arsen, ia membuktikan kematian diakibatkan oleh keracuanan arsen. M.J.B. Orfila
dikenal sebagai bapak toksikologi modern karena minatnya terpusat pada efek
tokson, selain itu karena ia memperkenalkan metodologi kuantitatif ke dalam
studi aksi tokson pada hewan, pendekatan ini melahirkan suatu bidang
toksikologi modern, yaitu toksikologi forensik. Dalam bukunya Traite des poison, terbit pada tahun 1814,
dia membagi racun menjadi enam kelompok, yaitu:
corrosives, astringents, acrids,
stupefying or narcotic, narcoticacid, dan septica atau putreficants.
B.
Pengertian Toksikologi
Toksikologi
adalah studi meengenai efek yang tidak
diinginkan dari zat-zat kimia terhadap organisme hidup. Gabungan antara
berbagai efek potensial yang merugikan serta terdapatnya keanekargaman bahan
kimia di lingkungan membuat toksikologi sangat luas cakupannya.
Pencegahan
keracunan memerlukan perhitungan terhadap toxicity
(toksisitas), hazard ( bahaya), risk (resiko), dan safety (keamanan).
1) Tixicity
(toksisitas) merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam
memperbandingkan satu zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan
bahwa satu zat kimia lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat
kurang informatif, kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi
tentang mekanisme biologi yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi
bagaimana zat kimia tersebut berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi
seharusnya dari sudut telaah tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai
sistem biologi, dengan penekanan pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu
dan berbagai kondisi di mana efek berbahaya itu terjadi.
2) Hazard suatu
kimia berarti kemungkinan zat kimia tersebut untuk menimbulkan cidera,
sedangakn dalam bahasa indonesia hazard diterjemahkan sebagai bahaya. Hazard
berbeda pengertiannya dengan toksisitas, yang berarti deksripsi dan
kuantifikasi sifat-sifat toksik suatu zat kimia. Hazard dapat berbeda
tergantung cara pemaparan zat kimia tersebut. zat X dalam bentuk cair misalnya
akan lebih berbahaya (hazardous) dari
pada bentuk butiran karena lebih mudah menempel di kulit dan diserap. Suatu zat
kimia dalam bentuk gas menimbulkan hazard lebih besar daripada bentuk cair,
karena dapat menyebar luas di udara dan mengenai banyak orang sekaligus. Namun
bila gas disimpan dalm tangki dengan baik atau dalam ruangan sejuk maka hazard
akan menjadi lebih kecil.
3) Risk
didefinisikan sebagai besarnya kemungkinan suatu zat kimia untuk menimbulkan
keracuanan. Hal ini terutama tergantung dari besarnya dosis yang masuk ke dalam
tubuh. Peningkatan dosis ditentukan oleh tingginya konsentrasi, lama dan
seringnya pemaparan seta cara masuknya zat tersebut kedalam tubuh. Semakin
besar pemaparan terhadap zat kimia semakin besar pula resiko keracunan.
4) Keamanan
suatu xenobiotik perhitungannya sukar dipahami. Hal ini disebabkan perlu
memperhitungkan keamanan dengan menerapkan faktor keamanan, yang kadang kala
merupakan estimasi yang sering berlebihan. Menusia tidak dapat dipakai sebagai
“hewan” percobaan untuk menilai xenobiotik seperti biasanya perhitungan harus
didasarkan harus disasarkan estimasi toksisitas dan bahaya terhadap suatu zat
kimia melalui data yang diperoleh hewan percobaan. Karena pada perbedaan antara
sifat manusia dengan hewan percobaan maka harus diperhitungkan faktor keamanan
yang menurut konsensus ilmish sebesar 100. Hal ini menyebabkan diterimanya
standar pemaparan seperti: Acceptable
Daily Intake (ADI), Tolerable Weekly
Intake (TWI), dan Maximal Allowable
Concentration, Tolerance Level, dan sebagainya.
Secara
sederhana dan ringkas, toksikologi dapat didefinisikan sebagai kajian tentang
hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek toksik) berbagai bahan kimia
terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia dapat juga membahas
penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut sehubungan
dengan terpejannya (exposed) makhluk
tadi.
Apabila
zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat yang
berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu pada
suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis,
konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi
bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk
efek yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah toksik
atau toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di
mana efek berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif
dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau
penyimpangan mekanisme biologi pada suatu organisme.
Toksisitas
merupakan istilah relatif yang biasa dipergunakan dalam memperbandingkan satu
zat kimia dengan lainnya. Adalah biasa untuk mengatakan bahwa satu zat kimia
lebih toksik daripada zat kimia lain. Perbandingan sangat kurang informatif,
kecuali jika pernyataan tersebut melibatkan informasi tentang mekanisme biologi
yang sedang dipermasalahkan dan juga dalam kondisi bagaimana zat kimia tersebut
berbahaya. Oleh sebab itu, pendekatan toksikologi seharusnya dari sudut telaah
tentang berbagai efek zat kimia atas berbagai sistem biologi, dengan penekanan
pada mekanisme efek berbahaya zat kimia itu dan berbagai kondisi di mana efek
berbahaya itu terjadi.
Pada
umumnya efek berbahaya / efek farmakologik timbul apabila terjadi interaksi
antara zat kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua
aspek yang harus diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia
dengan organisme hidup, yaitu kerja farmakon pada suatu organisme (aspek
farmakodinamik / toksodinamik) dan pengaruh organisme terhadap zat aktif (aspek
farmakokinetik / toksokinetik) aspek ini akan lebih detail dibahas pada sub
bahasan kerja toksik. Telah dipostulatkan oleh Paracelcius, bahwa sifat toksik
suatu tokson sangat ditentukan oleh dosis (konsentrasi tokson pada
reseptornya). Artinya kehadiran suatu zat yang berpotensial toksik di dalam
suatu organisme belum tentu menghasilkan juga keracunan. Misal insektisida
rumah tangga (DDT) dalam dosis tertentu tidak akan menimbulkan efek yang
berbahaya bagi manusia, namun pada dosis tersebut memberikan efek yang
mematikan bagi serangga. Hal ini disebabkan karena konsentrasi tersebut berada jauh
dibawah konsentrasi minimal efek pada manusia. Namun sebaliknya apabila kita
terpejan oleh DDT dalam waktu yang relatif lama, dimana telah diketahui bahwa
sifat DDT yang sangat sukar terurai dilingkungan dan sangat lipofil, akan
terjadi penyerapan DDT dari lingkungan ke dalam tubuh dalam waktu relatif lama.
Karena sifat fisikokimia dari DDT, mengakibatkan DDT akan terakumulasi
(tertimbun) dalam waktu yang lama di jaringan lemak. Sehingga apabila batas
konsentrasi toksiknya terlampaui, barulah akan muncul efek toksik. Efek atau
kerja toksik seperti ini lebih dikenal dengan efek toksik yang bersifat kronis.
Toksin Clostridium botulinum,
adalah salah satu contoh tokson, dimana dalam konsentrasi yang sangat rendah
(10-9 mg/kg berat badan), sudah dapat mengakibatkan efek kematian.
Berbeda dengan metanol, baru bekerja toksik pada dosis yang melebihi 10 g.
Pengobatan parasetamol yang direkomendasikan dalam satu periode 24 jam adalah 4
g untuk orang dewasa dan 90 mg/kg untuk anak-anak. Namun pada penggunaan lebih
dari 7 g pada orang dewasa dan 150 mg/kg pada anak-anak akan menimbulkan efek
toksik.
Dengan
demikian, resiko keracunan tidak hanya tergantung pada sifat zatnya sendiri,
tetapi juga pada kemungkinan untuk berkontak dengannya dan pada jumlah yang
masuk dan diabsorpsi. Dengan lain kata tergantung dengan cara kerja, frekuensi
kerja dan waktu kerja. Antara kerja (atau mekanisme kerja) sesuatu obat dan
sesuatu tokson tidak terdapat perbedaan yang prinsipil, ia hanya relatif. Semua
kerja dari suatu obat yang tidak mempunyai sangkut paut dengan indikasi obat
yang sebenarnya, dapat dinyatakan sebagai kerja toksik. Kerja medriatik
(pelebaran pupil), dari sudut pandangan ahli mata merupakan efek terapi yang
dinginkan, namun kerja hambatan sekresi, dilihat sebagai kerja samping yang
tidak diinginkan. Bila seorang ahli penyakit dalam menggunakan zat yang sama
untuk terapi, lazimnya keadaan ini manjadi terbalik. Pada seorang anak yang
tanpa menyadarinya telah memakan buah Atropa
belladonna, maka mediaris maupun mulut kering harus dilihat sebagai gejala
keracuanan. Oleh sebab itu ungkapan kerja terapi maupun kerja toksik tidak
pernah dinilai secara mutlak. Hanya tujuan penggunaan suatu zat yang mempunyai
kerja farmakologi dan dengan demikian sekaligus berpotensial toksik,
memungkinkan untuk membedakan apakah kerjanya sebagai obat atau sebagai zat
racun.
Tidak
jarang dari hasil penelitian toksikologi, justru diperoleh senyawa obat baru.
Seperti penelitian racun (glikosida digitalis) dari tanaman Digitalis purpurea dan lanata,yaitu diperoleh antikuagulan yang
bekerja tidak langsung, yang diturunkan dari zat racun yang terdapat di dalam
semanggi yang busuk. Inhibitor asetilkolinesterase jenis ester fosfat, pada
mulanya dikembangkan sebagai zat kimia untuk perang, kemudian digunakan sebagai
insektisida dan kini juga dipakai untuk menangani glaukoma.
Toksikologi
modern merupakan bidang yang didasari oleh multi displin ilmu, ia dengan dapat
dengan bebas meminjam bebarapa ilmu dasar, guna mempelajari interaksi antara
tokson dan mekanisme biologi yang ditimbulkan (lihat gambar). Ilmu toksikologi
ditunjang oleh berbagai ilmu dasar, seperti kimia, biologi, fisika, matematika.
Kimia analisis dibutuhkan untuk mengetahui jumlah tokson yang melakukan ikatan
dengan reseptor sehingga dapat memberikan efek toksik.
Bidang
ilmu biokimia diperlukan guna mengetahui informasi penyimpangan reaksi kimia
pada organisme yang diakibatkan oleh xenobiotika. Perubahan biologis yang
diakibatkan oleh xenobiotika dapat diungkap melalui bantuan ilmu patologi,
immonologi, dan fisiologi. Untuk mengetahui efek berbahaya dari suatu zat kimia
pada suatu sel, jaringan atau organisme memerlukan dukungan ilmu patologi,
yaitu dalam menunjukan wujud perubahan / penyimpangan kasar, mikroskopi, atau
penyimpangan submikroskopi dari normalnya. Perubahan biologi akibat paparan
tokson dapat termanisfestasi dalam bentuk perubahan sistem kekebakan (immun)
tubuh, untuk itu diperlukan bidang ilmu immunologi guna lebih dalam mengungkap
efek
toksik pada sistem kekebalan organisme.

Gambar Hubungan ilmu dasar dan terapan dengan cabang
toksikologi (dimodifikasi dari LOOMIS 1979).
Sumber: Buku Ajar Toksikologi Umum Jurusan Farmasi
FPMIPA UNIVERSITAS UDAN
Mengadopsi
konsep dasar yang dikemukakan oleh Paracelcius, manusia menggolongkan efek yang
ditimbulkan oleh tokson menjadi konsentrasi batas minimum memberikan efek,
daerah konsentrasi dimana memberikan efek yang menguntungkan (efek terapeutik ,
lebih dikenal dengan efek farmakologi), batas konsentrasi dimana sudah
memberikan efek berbahaya (konsetrasi toksik), dan konstrasi tertinggi yang
dapat menimbulkan efek kematian. Agar dapat menetapkan batasan konsentrasi ini
toksikologi memerlukan dukungan ilmu kimia analisis, biokimia, maupun kimia
instrmentasi, serta hubungannya dengan biologi.Ilmu statistik sangat diperlukan
oleh toksikologi dalam mengolah baik data kualitatif maupun data kuantitatif
yang nantinya dapat dijadikan sebagai besaran ekspresi parameter-parameter
angka yang mewakili populasi.
Bidang
yang paling berkaitan dengan toksikologi adalah farmakologi, karena ahli
farmakologi harus memahami tidak hanya efek bermanfaat zat kimia, tetapi juga
efek berbahayanya yang mungkin diterapkan pada penggunaan terapi. Farmakologi
pada umumnya menelaah efek toksik, mekanisme kerja toksik, hubungan dosis
respon, dari suatu tokson.
Toksikologi
sangat luas cakupannya. Ia menangani studi efek toksik “toksisitas” di berbagai
bidang, LU (1995) mengelompokkan ke dalam empat bidang, yaitu:
1. Didang
kedokteran untuk tujuan diagnostik, pencegahan, dan terapeutik.
2. Dalam
industri makanan sebagai zat tambahan baik langsung maupun tidak langsung.
3. Dalam
pertanian sebagai pestisida zat pengatur pertumbuhan, peyerbuk bantuan, dan zat
tambahan pada makanan hewan.
4. Dalam
bidang industri kimia sebagai pelarut, komponen, dan bahan antara bagi plstik
serta banyak jenis bahan kimia lainnya.
Di
dalam industri kimia juga dipelajari pengaruh logam (misal dalam dalam
pertambangan dan tempat peleburan), produk minyak bumi, kertas dan pulpa,
tumbuhan beracun, dan racun hewan terhadap kesehatan.
LOOMIS
(1979) berdasarkan aplikasinya toksikologi dikelompokkan dalam tiga kelompok
besar, yakni: toksikologi lingkungan, toksikologi ekonomidan toksikologi
forensik. Toksikologi lingkungan lebih memfokuskan telaah racun pada
lingkungan, seperti pencemaran lingkungan, dampak negatif dari akumulasi residu
senyawa kimia pada lingkungan, kesehatan lingkungan kerja. Toksikologi ekonomi
membahas segi manfaat dan nilai ekonomis dari xenobiotika. Tosikologi forensik
menekunkan diri pada aplikasi ilmu toksikologi untuk kepentingan peradilan.
Kerja utama dari toksikologi forensik adalah analisis racun baik kualitatif
maupun kuantitatif sebagai bukti dalam tindak kriminal (forensik) di
pengadilan.
Masih
dijumpai subdisiplin toksikologi lainnya selain tiga golongan besar diatas,
seperti toksikologi analisis, toksikologi klinik, toksikologi kerja,
toksikologi hukum, dan toksikologi mekanistik.
Untuk
menegakan terapi keracunan yang spesifik dan terarah, diperlukan kerjasama
antara dokter dan toksikolog klinik. Hasil analisis toksikologi dapat
memastikan diagnose klinis, dimana diagnose ini dapat dijadikan dasar dalam
melakukan terapi yang cepat dan tepat, serta lebih terarah, sehingga ancaman
kegagalan pengobatan (kematian) dapat dihindarkan. Analisis toksikologi klinik
dapat berupa analisis kualitatif maupun kuantitatif. Dari hasil analisis
kualitatif dapat dipastikan bahwa kasus keracunan adalah memang benar
diakibatkan oleh instoksikasi. Sedangkan dari hasil analisis kuantitatif dapat
diperoleh informasi tingkat toksisitas pasien. Dalam hal ini diperlukan
interpretasi konsentrasi tokson, baik di darah maupun di urin, yang lebih
seksama. Untuk mengetahui tepatnya tingkat toksisitas pasien, biasanya
diperlukan analisis tokson yang berulang baik dari darah maupun urin. Dari
perubahan konsentrasi di darah akan diperoleh gambaran apakah toksisitas pada
fase eksposisi atau sudah dalam fase eleminiasi.
Keracunan
mungkin terjadi akibat pejanan tokson di tempat kerja. Hal ini mungkin dapat
mengkibatkan efek buruk yang akut maupun kronik. Efek toksik yang ditimbulkan
oleh kesehatan dan keselamatan kerja merupakan masalah bidang toksikologi
kerja. Toksikologi kerja merupakan subbagian dari toksikologi lingkungan.
Toksikologi
hukum mencoba melindungi masyarakat umum dari efek berbahaya tokson dengan
membuat undang-undang, peraturan, dan standar yang membatasi atau melarang
penggunaan zat kimia yang sangat beracun, juga dengan menentukan syarat
penggunaan zat kimia lainnya. Gambaran lengkap tentang efek toksik sangat
diperlukan untuk menetapkan peraturan dan standar yang baik. Profil semacam itu
hanya dapan ditentukan lewat berbagai jenis penelititan toksikologi yang
relevan, dan ini membentuk dasar bagi toksikologi hukum.
Sumber:
Wirasuta,
Made Agus Galgel dan Rasmaya Niruri. (2007). Toksikologi Umum. Bali: POM
Jurusan Farmasi 2006.
Achmad,
Rukaesih. (2004). Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta